novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mengusap air mata yang mengalir diam-diam.
–o0o–
Keputusan itu…
Suamiku makin tak terkendali. Dia makin sering mengintimidasiku, mengancam akan membunuh, mendiamkanku atau bahkan berteriak-teriak memarahiku di hadapan anak-anak kami.Ia mulai membanting barang-barang, beberapa kali hampir memukulku dengan benda yang dipegangnya meski tak pernah benar-benar melakukannya.

Suasana rumah kian memanas. Rumah tangga kami sudah seperti neraka. Anak-anak kami makin suka menangis dan berteriak tak karuan. Anak sulungku seringkah melamun dan mudah menangis serta tersinggung.

Sedang anak kedua dan ketiga mudah mengamuk dan berteriak jika apa yang diinginkan tak diperolehnya.

Maka diam-diam, setiap kemarahan serta ancaman, atau diam suamiku, justru menjadi jalan setapak yang kulalui hingga kusampai pada keputusan itu. Sungguh bukan keputusan yang mudah, karena pada dasarnya aku masih saja takut jangan-jangan ini semua adalah salahku. Namun satu hal yang membuatku tak menyurutkan langkah adalah bahwa aku merasa tak mampu lagi hidup bersama lelaki yang telah 10 tahun menjadi suamiku ini. Aku tak lagi memiliki sedikit pun keikhlasan untuk melayaninya. Dan aku tahu, setiap ketidakikhlasanku itu hanya akan menjadi jalan bagiku untuk berbuat dosa. Aku tahu, perkawinan ini tak akan lagi menjadi ladang a-mal bagiku, sebab aku membenci suamiku dan tak akan mampu lagi hidup bersamanya dengan ikhlas, sabar dan suka cita.

Maka aku pergi menemui lelaki petugas Pengadilan Agama itu. Aku bertanya apa-apa yang kubutuhkan untuk menggugat cerai suamiku. Ternyata sederhana saja. Aku hanya perlu menyerahkan foto copy KTP dan Surat Nikah serta membuat pengaduan. Ia pun menyarankanku untuk menyimpan surat-surat tanah yang mungkin masih bisa kuselamatkan dan kubaliknamakan, menyimpan surat-surat kendaraan, dan surat-surat rumah, agar jangan sampai suamiku menguasai seluruhnya tanpa memberiku bagian sedikit pun.

Maka proses itupun dimulai. Perlahan-lahan dan diarndiarn, kukumpulkan semua milikku. Uang gajiku yang tadinya hampir seluruhnya masuk ke dalam rekening bank suamiku, sedikit demi sedikit kukurangi. Aku telah merencanakan, begitu aku mengajukan gugatan cerai, maka seluruh uangku akan masuk ke rekening bankku saja. Dan hari itu tibalah. Aku menebalkan tekad dengan sholat malam dan memperbanyak doa. Dengan menguatkan hati, kumasuki kantor Pengadilan Agama. Tak terkira debaran jantungku dan sekuat tenaga kutahan air mataku. Aku tidak akan surut.

Dan hari itu, di bulan Agustus, aku pun membuat pengaduan. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya seminggu setelah pengaduan dibuat, surat panggilan untuk menghadiri sidang pun datang. Ketika itu, aku telah berpisah rumah dengan suamiku yang pada suatu malam menjadi demikian marah dan gila hingga mengusir aku dan keempat anakku dari rumah kami. Ketika itu pukul 3
dinihari. Dan kejadian itu, menorehkan luka begitu dalamnya di hatiku, hingga melecutku serta memberiku kekuatan untuk akhirnya mendatangi Kantor Pengadilan Agama.
Rasa Bersalah
Persidangan itu begitu menakutkanku. Belum pernah aku merasa begitu kecil, terhina, dan menderita karena aku harus menceritakan aibku sendiri
di hadapan orang-orang asing yang bernama Hakim Ketua, dua Hakim Anggota, dan seorang Panitera. Belum lagi kenyataan bahwa orang yang kulawan adalah suamiku sendiri. Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Aku merasakan kesedihan yang amat hebat, hingga tak jarang aku menangis di hadapan orang-orang yang hadir dan tak mampu berkata-kata. Akupun memilih untuk lebih banyak menyampaikan pembelaan dan pengakuanku dalam bentuk tertulis.

Itulah suasana teraneh yang pernah kualami. Berseteru dengan orang yang pernah begitu kucintai, saling menyerang, saling membuka kesalahan dan aib. Oh…entah ke mana cinta yang dulu ada di antara kami. Sungguh begitu mudah cinta tercerabut, hingga ke akar akarnya, hingga kami bisa saling berhadapan dan saling memburukkan satu sama lain. Ketika akhirnya gugatanku dikabulkan, aku merasa bebas. Tapi belakangan aku didera rasa bersalah, terutama setiap kali melihat wajah keempat anakku. Oh, Tuhanku… apa yang telah kulakukan?

Bersalahkah aku? Berdosakah aku telah membuat anakanakku terpisah dengan ayah rnereka?Egoiskah aku?

Benarkah aku memberikan yang terbaik bagi anak-anakku?

Benarkah aku melakukan semua ini demi ketenangan mereka, demi perkembangan jiwa mereka yang telah kerap menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran, mendengar ancaman demi ancaman? Benarkah? Benarkah?

Aku menjadi sakit. Berbagai dokter kukunjungi, sakitku tak juga sembuh. Hingga suatu hari, salah seorang keluargaku membawaku menemui seorang dokter yang terkenal taat ibadahnya. Dari dialah aku mendengar bahwa aku sebenarnya tak sakit. Aku sehat-sehat saja. Yang sakit adalah jiwaku.

“Sakit perut seperti mag, sakit punggung yang berkelanjutan, merasa kedinginan setiap saat, pusing yang terus menerus, adalah gejala stress. Pergerakan usus Ibu normal, tak ada yang bermasalah. Apa yang Ibu khawatirkan dan pikirkan? Stress tak ada obatnya. Obatnya datang dari diri sendiri. Dari penguatan diri. Saran saya, apapun masalah Ibu, perbanyaklah berdoa dan shalat malam. Semua masalah ada jalan keluarnya. Berserah diri pada Allah,” kata dokter itu sambil tersenyum.

Sejak itu, aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam dalam siksaan rasa bersalah. Aku banyak berdoa, banyak sholat malam dan lebih memasrahkan diri pada Allah.Kupandangi anak-anakku. Melihat wajah mereka, aku pun ‘terjaga’ dari tidurku selama ini. Jika aku jatuh dan terpuruk, siapa yang akan menjaga anak-anakku? Jika aku tenggelam dalam kesedihan, siapa yang akan menggembirakan anak-anak ku? Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku telah menciptakan situasi ini.

Menangis sungguh tak akan membawa hasil apaapa. Apa yang telah terjadi adalah menjadi bagian dari hidup yang harus kuhadapi. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku.

Jika ini yang terbaik,maka aku terima dengan lapang dada.
Aku pun sampai pada kesadaran, bahwa aku adalah orang yang ‘terpilih’ untuk menerima ujian ini. Mengapa aku? Tentunya karena Allah tahu sesuatu yang aku tak tahu. Maka aku tak lagi mempertanyakan mengapa Allah menimpakan ujian ini.

Semangat hidupku bangkit lagi. Aku kian giat berusaha dan bermunajat kepada Allah. Dalam doa, aku meminta agar Allah menghilangkan rasa bersalah, kegelisahan dan ketidaktenangan dari dalam jiwaku.

Lagi-lagi, Allah menjawab doaku. Sebab, pada suatu hari aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang tak sengaja bertemu denganku di sebuah seminar. Lelaki yang belakangan kutahu seorang us-tadz ini, berkata padaku setelah kami cukup dekat dan aku dapat menceritakan tentang perceraianku.

“Mbak, Allah yang membenci perceraian itu, adalah Allah yang sama yang juga mengajari kita cara untuk melakukan perceraian secara ma’ruf. Jadi, Allah sudah tahu bahwa akan ada di antara hambanya yang tak akan berhasil dengan rumah tangganya, sehingga Dia pun membolehkan perceraian untuk mengatasi masalah yang sudah tak dapat lagi dicarikan jalan keluarnya.”

Aku diam mendengarkan.
“Jadi, perceraian itu memang ada dan diperbolehkan.